Sabtu, 18 Februari 2012

Supporter Indonesia Bersatu

Lupakan Dendam Kelompok Suporter

Sebagai bagian dari suatu kelompok supporter, kita tentunya sering mendengar slogan "Marilah hidup damai, lupakan dendam!!". Himbauan ini kadang terkesan sepele dan kadang dalam prakteknya sangat sulit dilakukan.

Pertikaian antar kelompok supporter di Liga Indonesia sudah sering dicarikan solusi perdamaiannya, tapi pelaksanaan di lapangan sering sangat sulit. Karena kadang kesepakatan damai antara dua kelompok suporter yang berseteru hanya di pahami level pengurus saja, sedangkan dalam prakteknya sosialisasi di level grass root lah yang paling sulit dan butuh perjuangan keras. Sebenarnya jika suporter sebagai individu menginginkannya, meski sulit coba ikuti saja resep ini :

Hilangkan pikiran negatif tentang kelompok supporter lain. Kelompok supporter tidak salah terhadap kita! Hal semacam itulah yang harus kita pikirkan. Richard Carlson Ph.D dalam bukunya "Don't Sweat The Small Stuff" mengatakan bahwa solusi yang paling mudah menghindari pertikaian adalah berpikir bahwa orang lain tidak pernah salah. Pahamilah setiap apa yang tersembunyi di balik perlakuan orang lain kepada kita. Bahkan kita kita bisa mengambil contoh kesabaran orang tua terhadap anaknya yang bandel dan begitu menjengkelkan. Dalam pelaksanaannya di dunia suporter kita hendaknya selalu bisa memandang dari sisi positif dan sabar dalam menghadapi provokasi dari kelompok lain. Berbanggalah bahwa kalian lebih mulia dan beradab dari kelompok yang melakukan provokasi fisik maupun mental.

Ambil inisiatif damai sedini mungkin. Jangan berharap kelompok supporter lain memulainya. Ambil keputusan untuk meminta maaf secepatnya kepada kelompok suporter lain bila kita ada pertikaian, katakan dengan tulus. Bila anda tidak segera mengambil inisiatif damai, maka permasalahan tidak akan ber**. "Tidak ada orang / kelompok di dunia ini yang merasa bahagia jika disalahkan, meskipun dia tahu diri" ungkap Carlson.

Jika anda merasa kelompok suporter anda tidak bersalah, tak perlu menyalahkan kelompok suporter lain dan berharap kelompok supporter lain yang meminta maaf, apalagi bila persoalannya hanya sepele saja.

Musnahkan rasa dendam. Berhentilah mengobarkan luka hati yang kalian rasakan terhadap kelompok suporter lain. Dengan tak berulang kali menghidupkan kembali situasi itu, kelompok supporter anda akan merasakan kedamaian dan ketenangan hati. Tinggalkan kemarahan dan lupakan dendam. Memaafkan memberi anda kekuatan untuk mengatasi persoalan. Ketika anda meminta maaf dulu, maka anda akan merasakan kebahagiaan. Memaafkan orang berarti melepaskan suatu beban. Dalam buku Forgivenes : A Bold Choice for a Peaceful heart , Robin Casarjin mengatakan "Begitu anda memaafkan orang, maka secara emosi anda tidak akan terbelenggu oleh orang yang menyakiti anda".

Jangan gengsi, meminta maaf mungkin bukan pekerjaan ringan. Orang-orang yang masih diliputi perasaan-perasaan sombong, merasa lebih baik, atau gengsi, tidak akan mau jika harus meminta maaf lebih dulu. Apalagi meminta maaf kepada orang / kelompok suporter yang selama ini dianggap lebih rendah darinya. Buang jauh-jauh perasaan itu, ketika anda mempunyai posisi yang lebih baik darinya. Anda dalam posisi yang lebih unggul dari yang pernah mencederai anda atau berbuat culas pada anda bila anda meminta maaf dulu.

Perbaiki Batin. Benahi pikiran kembali pikiran dan batin anda. Ini cara yang paling aman untuk menghindari kesalahan dan meringankan dalam memberi maaf. Dengan perbaikan batin dimana-mana dan memudahkan maaf pada kelompok suporter lain maka hidup anda akan lebih indah! "Trust your dream for peace not your fear". ''Friendships without frontiers, Football without violence" ( Sumber : BolaKlopedia )

Asal Mula Perseteruan Arema vs Bonek


Berdirinya Armada 86 hingga berevolusi menjadi PS Arema pada tahun 1987 membuat konflik semakin memanas. Dalam kompetisi Perserikatan, Persema dan Persebaya sudah memanaskan suhu konflik antar-suporter di Jawa Timur. Dengan hadirnya Arema yang mengikuti kompetisi Galatama, suhu itu kian memanas dengan rivalitas Arema dan Niac Mitra Surabaya. Semifinal Galatama tahun 1992 yang mempertandingkan PS Arema Malang melawan PS Semen Padang di stadion Tambaksari Surabaya menghadirkan awalan baru sejarah konflik Aremania-Bonek. Arek Malang (saat itu belum bernama Aremania) membuat ulah di Stasiun Gubeng pasca kekalahan Arema Malang dari Semen Padang. Kapolda Jatim saat itu akhirnya mengangkut mereka dalam 6 gerbong kereta api untuk menghindari kerusuhan dengan Bonek. Kejadian di Stasiun Gubeng itu membuat panas Bonek yang ada di Surabaya. Tindakan balasan mereka lakukan dengan mencegat dan menyerang rombongan Aremania pada akhir tahun 1993 saat akan melawat ke Gresik. Peristiwa ini dibalas oleh Aremania pada tahun 1996 dengan melakukan lawatan ke Stadion Tambaksari dengan pengawalan ketat DANDIM. Keberanian Aremania untuk hadir di Stadion Tambaksari kala pertandingan Persebaya melawan Arema saat itu telah membuat Bonek tidak bisa berbuat apa-apa dan harus menahan amarah mereka dengan cara menghina Aremania lewat kata-kata saja. Hal ini karena pertandingan tersebut disaksikan oleh para petinggi PSSI dan gubernur Jawa Timur saat itu, serta pengawalan ketat DANDIM kota Malang terhadap Aremania. Bagi Aremania, hal ini sudah sangat mempermalukan Bonek dengan datang langsung ke jantung pertahanan lawan sembari menunjukkan kesantunan Aremania dalam mendukung tim kesayangan. Semenjak itulah tidak ada kata damai dari Bonek kepada Aremania, dan Aremania sendiri juga menyatakan siap untuk melayani Bonek dengan kekerasan sekalipun. Kejadian ini dibalas oleh Bonek di Jakarta pada tahun 1998. Tanggal 2 Mei 1998 dimana Aremania akan hadir dalam pertandingan Persikab Bandung vs Arema Malang, Aremania yang baru turun dari kereta di Stasiun Jakarta Pasarsenen diserang oleh puluhan Bonek. Ketika itu rombongan Aremania yang berjumlah puluhan orang menaiki bus AC yang sudah disiapkan oleh Korwil Aremania Batavia. Di tengah jalan, belum jauh dari Stasiun Pasar Senen tiba-tiba bus yang ditumpangi Aremania dihujani batuan oleh Bonek. Untuk menghindari jatuhnya korban, rombongan Aremania langsung turun dari bus untuk melawan Bonek yang menyerang mereka. Bahkan Aremania sampai mengejar-ngejar Bonek yang ada di Stasiun Pasarsenen. Tindakan Aremania ini mendapat applaus dari warga setempat, sehingga Bonek harus mundur meninggalkan area Stasiun Pasarsenen. Kondisi rivalitas yang begitu panas antara Aremania dan Bonek membuat keduanya menandatangi nota kesepakatan bahwa masing-masing kelompok suporter tidak akan hadir ke kandang lawan dalam laga yang mempertemukan Arema dan Persebaya. Nota kesepakatan yang ditandatangani oleh Kapolda Jatim bersama kedua pemimpin kelompok suporter tersebut ditandatangani di Kantor Kepolisian Daerah Jawa Timur pada tahun 1999. Semenjak tahun 1999, maka kedua elemen suporter ini tidak pernah saling tandang dalam pertandingan yang mempertemukan kedua klub kesayangan masing-masing. Tetapi nota kesepakatan itu tidak mampu meredam konflik keduanya. Tragedi Sidoarjo yang terjadi pada bulan Mei 2001 menunjukkan masih adanya permusuhan kedua elemen ini. Kala itu pertandingan antara tuan rumah Gelora Putra Delta (GPD) Sidoarjo melawan Arema Malang di Stadion Delta Sidoarjo dalam lanjutan Liga Indonesia VII. Karena dekatnya jarak Surabaya-Sidoarjo membuat sejumlah Bonek hadir dalam pertandingan tersebut.

Menjelang pertandingan dimulai, batu-batu berterbangan dari luar stadion menyerang tribun yang diduduki oleh Aremania. Kondisi ini membuat Arema meminta kepada panpel untuk mengamankan wilayah luar stadion. Karena lemparan batu belum berhenti membuat Aremania turun ke lapangan, sementara di luar stadion justru terjadi gesekan antara Bonek dengan aparat. Turunnya Aremania ke lapangan pertandingan membuat pertandingan dibatalkan. Terdesaknya aparat keamanan yang kewalahan menghadapi Bonek membuat Aremania membantu aparat dengan memberikan lemparan balasan ke arah Bonek. Aremania pun harus dievakuasi keluar stadion dengan truk-truk dari kepolisian. Kejadian rusuh yang berkaitan antara Aremania dengan Bonek masih berlanjut pada tahun 2006. Kekalahan Persebaya Surabaya atas Arema Malang di stadion Kanjuruhan dalam laga first leg Copa Indonesia membuat kecewa Bonek di Surabaya. Seminggu kemudian, kegagalan Persebaya Surabaya mengalahkan Arema Malang di stadion Gelora 10 November Tambaksari Surabaya membuat Bonek mengamuk. Laga yang berkesudahan 0-0 ini harus dihentikan pada menit ke-83 karena Bonek kecewa dengan kekalahan Persebaya dari Arema Malang. Kekecewaan ini mereka lampiaskan dengan merusak infrastruktur stadion, memecahi kaca stadion, dan merusak beberapa mobil dan kendaraan bermotor lain yang ada di luar stadion. ANTV yang menayangkan pertandingan tersebut meliputnya secara vulgar, bahkan berkali-kali menunjukkan gambar rekaman mengenai mobil ANTV yang dirusak oleh Bonek. Aremania menyikapi hal ini dengan menyerahkannya secara total kepada pihak berwajib dan PSSI. Rivalitas keduanya tidak hanya hadir lewat kerusuhan dan peperangan, tetapi juga dengan nyanyian-nyanyian saat mendukung tim kesayangannya. Bonekmania, di kala pertandingan Persebaya melawan tim manapun, pasti akan menyanyikan lagu-lagu yang menghina Arema dan Aremania. Lagu-lagu yang menyebutkan Arewaria, Arema Banci, Singo-ne dadi Kucing, dan beberapa lagu lain kerap mereka nyanyikan di Stadion Gelora 10 November Tambaksari Surabaya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Aremania, dimana lagu-lagu anti-Bonek juga mereka kumandangkan kala Arema menghadapi tim lain di Stadion Kanjuruhan. Bahkan persitiwa terbaru adalah tersiarnya kabar mengenai dikepruknya mobil ber-plat N ketika malam tahun baru di Surabaya oleh pemuda berkaos hijau (oknum Bonek?)

Atmosfir Malang – Surabaya

Seperti yang ditulis oleh Feek Colombijn dalam View from The Periphery: Football in Indonesia, dimana ia menyebut bahwa dinamika suporter di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa. Kultur Jawa yang mengutamakan keselarasan dalam harga diri, dimana penolakan yang amat sangat terhadap hal yang bisa mempermalukan diri sendiri, menjadi faktor utama konflik antar suporter di Indonesia. Kultur Jawa yang menghindar dari konflik dan tidak mau dipermalukan menjadi semacam dari anti-thesis dari sepakbola yang harus siap sedia untuk dipermalukan. Tetapi kultur Jawa pula yang memicu reaksi apabila penghinaan itu terjadi di depan umum dan sangat memalukan, maka ekspresi kemarahan dan anarkisme yang muncul untuk menjaga wibawa dan harga diri. Kondisi ini yang memicu atmosfir panas Malang–Surabaya. Geng pemuda asal Malang yang dibantai oleh Bonek di tahun 1967 memicu perasaan dendam dari Arek Malang. Belum lagi persoalan rivalitas “number one”, dimana dalam level propinsi posisi Malang masih dibawah Surabaya. Sifat tidak terima Arek Malang menjadi nomor dua dibawah Arek Suroboyo ini membuat keduanya susah berjabat tangan. Persaingan atas dasar pride ini berlanjut pasca melorotnya prestasi Persema Malang, dimana Arema mengambil alih posisi rivalitas Malang-Surabaya tersebut. Pergulatan harga diri ini terlihat jelas ketika Aji Santoso pindah dari Arema ke Persebaya, akhirnya Aji Santoso pun dianggap pengkhianat oleh Aremania. Ketika Aji Santoso ingin kembali ke Malang, ia pun harus melalui begitu banyak tim sebelum akhirnya mengakhiri karirnya bersama Arema Malang. Ahmad Junaedi pun menjadi korban rivalitas Aremania-Bonek. Ketika Ahmad Junaedi sudah menjadi bintang sepakbola nasional dan dibeli Surabaya, maka ketika Persebaya menawarkan Ahmad Junaedi untuk kembali ke Arema pun ditolak oleh Aremania. Akhirnya Arema pun lebih memilih untuk mengasah bakat Johan Prasetyo daripada memakai tenaga Ahmad Junaedi . Dalam hal simbol pun tantangan kepada Bonek juga dikumandangkan. Dengan pemilihan simbol singa menunjukkan bahwa di belantara Jawa Timur Arema ingin menjadi nomor satu, diatas Ikan Sura dan Buaya. Arema menjadi identitas resistensi daerah terhadap pusat (Surabaya) , dimana melalui dialek jawa timur dengan tatanan huruf yang dibalik pada osob kiwalan khas Malang seolah menunjukkan bahwa Arema menjadi identitas kultural masyarakat Malang. Selain itu Arema juga merupakan pemersatu warga kota Malang yang sebelumnya terpecah pada beberapa desa/wilayah/daerah. Arek Malang selalu berusaha membedakan dirinya dengan arek Suroboyo. Ketika arek Suroboyo itu bondho nekad, maka arek Malang itu bondho duwit. Ketika Bonek itu suka membuat kerusuhan, maka Aremania ingin menyebarkan virus perdamaian. Konflik identitas juga menjadi lahan rivalitas kedua kubu suporter besar Jawa Timur ini.

Sejarah Persahabatan VIKING_BONEK

Sejarah Persahabatan VIKING-BONEK

Melihat sejarah, VIKING dan BONEK adalah pendukung sejati dari klub perserikatan yang sudah menjadi musuh bebuyutan dari sejak jaman perserikatan, yaitu PERSIB danPERSEBAYA. Dilihat dari kacamata awam, tidak mungkin pendukung sejati yang berani mati demi mendukung timnya bisa bersahabat bahkan bersaudara dengan pendukung sejati yang sama-sama berani mati demi mendukung tim musuh bebuyutan. Tetapi ternyata VIKING dan BONEK membuktikan bahwa mereka bisa. Persaudaraan mereka dilandasi perasaan senasib dimana mereka selalu dijadikan bahan hujatan dan pendiskreditan dari masyarakat sepakbola nasional. Bahkan pers nasional pun paling senang apabila ada kerusuhan di partai yang melibatkan PERSIB atau PERSEBAYA karena bisa dijadikan headline dan sudah jelas pihak mana yang akan disalahkan.

Sejak dulu VIKING dan BONEK diidentikkan dengan kerusuhan. Istilahnya dimana ada pertandingan yang ditonton oleh VIKING atau BONEK maka akan terjadi kerusuhan. Hal-hal jelek dan bersifat mendiskreditkan itulah yang lebih sering diekspos oleh media massa nasional. Padahal tidak semua kegiatan atau kelakuan VIKING dan BONEK berujung pada kerusuhan. Dan tidak semua kerusuhan itu diakibatkan oleh mereka. Mereka hanyalah kaum tertindas yang selalu di persalahkan karena dosa-dosa di masa lalu. Sangat jarang sekali (atau bahkan tidak pernah) media massa nasional memberitakan kegiatan positif yang VIKING atau BONEK lakukan. Sangat jauh berbeda dengan pemberitaan media massa nasional tentang pendukung tim lain. Ketika terjadi kerusuhan yang melibatkan mereka hanya ditulis sedikit (atau bahkan tidak ditulis sama sekali) dan ditutupi dengan kata-kata "oknum" yang mengatasnamakan pendukung "....." . Sedangkan ketika melakukan kegiatan positif, media massa nasional langsung memberitakan secara besar-besaran, sebesar berita kerusuhan yang melibatkan VIKING atau BONEK. Bahkan saking terlalu seringnya pemberitaan yang memojokkan VIKING sebagai bobotoh PERSIB, Bobotoh PERSIB, Bobotoh lain yang bukan anggota VIKING pun menjadi antipati terhadap media massa nasional. Sampai ada jargon di kalangan Bobotoh bahwa "PERSIB besar bukan karena pemberitaan media massa nasional, PERSIB besar karena Bobotoh dan prestasi. PERSIB dan Bobotoh tidak membutuhkan media massa nasional untuk menjadi besar. Media massa nasional-lah yang membutuhkan PERSIB untuk menjadi besar dan terkenal". Hal itulah yang mungkin menjadi salah satu penyebab munculnya perasaan senasib dan berkembang menjadi ikatan persaudaraan, selain tentunya kerusuhan di Jakarta dimana BONEK yang hendak mendukung PERSEBAYA di Senayan diserang oleh sepasukan organisasi masyarakat (???), yang tidak usah saya sebutkan disini karena semua juga sudah tau, dan kemudian diselamatkan oleh Bobotoh (anggota VIKING) yang kebetulan sedang ada disana. Juga ketika PERSIB melawat ke Surabaya, dimana anggota VIKING yang mendukung PERSIB disana dijamu sangat baik oleh BONEK. Demikian pula ketika PERSEBAYA yang bertanding di Bandung, giliran BONEK yang dijamu sangatbaik oleh VIKING. Indahnya persaudaraan diantara dua kubu suporter TERBESAR di Indonesia itu. Jadi saat ini BONEK bukan hanya berarti BONDO NEKAT, tapi bisa juga berarti BOBOTOH NEKAT. Karena VIKING atau BONEK sama saja.